NAKSIR SAPINAH
Daftar Isi [Tampil]
Bagian 2
Syfa terlihat sibuk melayani
pelanggannya. Sejak ibunya membuka warung lotek, waktunya bermain jadi sedikit
berkurang. Biar begitu dia terlihat senang membantu ibunya.
Warung yang tak begitu mewah.
Selain menjual menu utama, Lotek ala Ibu Siti, warung lotek ini juga menjual
beberapa penganan seperti rempeyek, keripik pisang, tempe bacem, berbagai
gorengan dan pisang yang tergantung di pinggir jendela warung.
“Jadi beneran ada nih di
sini?” tanya Kentang yang masih saja nyidam pisang.
“Iya, Tang. Biasanya sih ada.”
Dedeng memarkirkan sepedanya.
“Nah tuh si Syfa, tanya dia
dulu deh,” kata Dedeng.
“Ah dia sibuk gitu, Deng.”
“Kita tunggu dulu deh kalau
gitu. Sini, Tang, di sini juga ada empek-empek tauk,”
“Alah gue nggak pengen empek-empek.
Gue maunya pisang, Deng,”
“Nih ada pisang goreng.”
“Ah nggak sehat yang
goreng-gorengan gitu. Yang alami aja, mantap.”
“Yaudah, kalau gitu biar buat
gue aja.”
Dedeng mengambil piring
empek-empek.
“Lagian elo, Tang, yang
dipikirin tembolok melulu,”
“Namanya juga orang nyidam,
Deng!”
KEDEBUUUG.
Empek-empek yang dipegang
Dedeng tiba-tiba jatuh.
“Bego
lo!” caci Kentang.
***
Syfa mondar-mandir kayak
setrikaan. Dia bukan lagi nggak ada kerjaan. Karena saking banyaknya kerjaan
yang mesti dia kelarin, makanya dia begitu.
“Fa, ambilin kencur, Nak, di
dekat kulkas ya!” pinta Ibu.
Syfa bergegas menuju rumah
yang menempel dengan warung loteknya itu.
Belum lagi para pelanggan yang
datang lebih dulu minta dilayani. Dalam hal ini Kentang dan Dedeng masih
terabaikan seperti barang tidak berguna. Dedeng yang sudah biasa ke sana sudah
tidak asing lagi. Makanya dia asal comot dan telan makan begitu. Nanti di ujung
tinggal bayar.
Tunggu-ditunggu Syfa tak
kunjung punya waktu luang. Dia terlihat sedang asik dengan seorang pelanggannya
yang gemuk. Cewek seumuran Syfa, yang kalau dilihat dari belakang percis kayak
sapi gelonggongan yang siap digorok lehernya.
“Eh, Deng, lihat deh tu cewek.
Buseeet ..., kayak sapi ya,” kata Kentang sambil menunjuk ke arah Syfa.
“Alah naksir entar lo, Tang!”
Dedeng cuek aja. Dimulutnya masih terganjal empek-empek yang rasanya enak meski
tak dibuat langsung dari Palembang.
“Ah nggak mungkin!” sanggah
Kentang.
Dedeng tidak menyahut. Matanya
hanya menatap ke arah cewek yang tubuhnya pecis sapi itu. Mulutnya juga masih
tampak mengunyah.
“Iya sama-sama. Nanti kalau
butuh lagi ke sini aja ya ...,” ucap Syfa kepada cewek yang mirip sapi itu.
Sepertinya cewek sapi itu sudah mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Kali ini
dia beranjak dari tempat duduk kayunya dan bergegas untuk pergi.
“Makasih ya, Fa!” seru cewek
gendut itu. Kemudian berangsut keluar melewati Kentang dan Dedeng.
Kentang menatap cewek sapi
itu. Dilihat dari gaya berjalannya yang pasti, dia menunjukkan aura bintang,
yang mungkin bisa saja dia akan direkrut menjadi model iklan, atau menjadi
pragawati, tentu saja kalau dagingnya dikurangi separuh dari yang sekarang.
WUSH.
Angin berembus menerbangkan
rambut cewek sapi itu. Mata Kentang masih tertuju padanya. Dahsyat. Cewek
gembrot itu melayangkan senyuman kepada cowok item ini.
Deg. Kentang mendadak salah
tingkah.
“Iya sama-sama!” seru Syfa
pula.
Syfa kembali membantu ibunya.
Dedeng dan Kentang masih belum terdeteksi matanya. Masih ada pelanggan lain
yang perlu dilayani.
“Eh, Deng, dia gendut-gendut
begitu cantik juga ya ternyata!”
“Nah kan, apa gue bilang.
Naksir juga kan lo ..., makanya jangan judge
a book hanya dari kavernya aja,” kata Dedeng sok diplomatis.
“Kalian ngomongin apa sih?”
celetuk Syfa yang tetiba ada di dekat mereka.
“Itu tuh. Si Kentang naksir
cewek gendut itu!” seru Dedeng seraya menunjuk ke arah cewek gembrot.
“Apaan sih, Deng. Enggak
kaleee ...,”
“Kalau suka bilang aja atuh,
Tang. Dari pada menanggung malu gitu,”
“Eh sembarangan aja lo, Deng,”
“Eh eh eh, kalian kenapa jadi
ribut di sini? Udah-udah pulang aja sana!” usir Syfa.
“Yeee, Syfa kok gitu ya sama
aing. Aing teh ke sini mau jajan. Aing pembeli loh, Syfa. Selayaknya pembeli
hargain aing dong sebagai raja,” seloroh Dedeng sok diplomatis lagi.
“Betul itu, Fa!” timpal
Kentang.
“Lagian kalian malah ribut
aja. Mana berisik lagi,” Cewek berkerudung ini terlihat jengah. “Terus masalah
raja. Mana ada raja yang mau makan di warung lotek yang jelek ini. Dudul ah
kamu, Deng!” cetus Syfa.
“Alah udah deh, gue mau nyari
pisang, ada apa nggak nih?” Kentang kembali mengungkit masalah temboloknya.
“Lah, pisangnya udah diborong
sama cewek itu tadi, Ken. Gimana dong?”
GUBRAAAK.
***
Dari ceritanya Syfa, Kentang
bisa tahu kalau cewek yang tubuhnya mirip sapi gelonggongan itu beneran bernama sapi.
“Sapinah, Ken!” celetuk Syfa.
Iya, itu dia namanya. Sapi ...
“Sapinah. Huh!” Syfa menyikut
Kentang. “Lama-lama gue ulek lo, Ken!” Syfa emosi.
Oke, oke, Sapinah. Tapi biar
rada gampang. Kali ini kita sebut dia Sapi.
“Dia baru pindah beberapa hari
lalu. Katanya butuh pisang untuk acara sukuran kecil-kecilan, sekalian mau
mengakrabkan diri sama penduduk sini. Makanya dia borong semua pisang yang ada,
gitu!” jelas Syfa kalem.
“Wah, dia pasti anaknya
pemborong.” Kentang nyengir kuda.
“Kok tahu?”
“Alah, gue kagak lagi
ngegombalin elo kali, Fa!”
“Lah, dia kan emang anaknya
pemborong. Bokap dia seorang pemborong, Ken!”
“Ooo.”
“Haha, sebentar lagi hati lo
juga bakal diborong sama tuh Sapi, Tang!” Dedeng ngakak. Kentang hanya diam saja.
“Ya terus, urusan nyidam gue
gimana dong? Gue kepengen pisang ini,” Kentang mengelus-elus perutnya.
“Ish, dasar imbisil lo, Ken!”
“Aha, gue dapat ide. Ubik
Jalarudin!”
Ting! Dedeng memejamkan
sebelah matanya.
Belum Kelar
Bahahaha, ngocol tuh gaya elo, Kur! Lanjutin deh ea ... :-)
BalasHapusbaru mampir, nyiak aja
BalasHapus