MERDEKAKAN HATIKU
Daftar Isi [Tampil]
Mel?
Ben tidak pernah bosan menyebut nama itu.
Rambutnya yang keriting, hidungnya yang pesek, bodinya yang lumayan
pendek, bukanlah sesuatu yang mengagumkan. Namun hal itu beda di mata Ben. Mel dipandangnya
sebagai cewek kece. Apalagi Mel juara umum ketika kelas X lalu.
Hari
Sabtu ini Ben terlihat hepi sekali. Ben berjalan gagah, seraya bersiul, sembari
tebar pesona ke sana-sini, sambil barucap sapa ke siapapun.
“Halo,
Rita!”
“Selamat
pagi, Anggun!”
“Hey,
Aimi ....”
“Vivie,
aku suka rambut keriting kamu.”
Santer
berita beredar bahwa Ben adalah cowok playboy. Padahal nyatanya Ben masih
jomblo. Ben hanya cowok biasa yang gaul doang. Ben memang sering terlihat akrab
dengan banyak cewek. Itulah yang menyebabkanya dijuluki sebagai Playboy. Tapi
apa suatu saat Ben akan menjadi playboy betulan?
***
Tak
sengaja Ben melihat selembar kertas tertempel di mading sekolah – sebuah ajang
pencarian bakat. Nama Mel masih nyangkut di benaknya. Ben tahu kalau Mel punya
bakat ini. Maka sepagi ini Ben sibuk mencari Mel ke seluruh penjuru kelas.
Padahal kelasnya Mel tidak jauh dari mading. Lantas ke mana gerangan perginya cewek
itu?
Radar
yang Ben miliki memang sangat kuat. Ben segera berlari ke ujung sekolah. Sangat
tergesa. Saking buru-burunya Ben malah menabrak Ayra, temen sekelasnya.
“Haiya,
hati-hati dong kalau jalan.” Cewek blasteran Cina itu berkicau.
Ben
tidak menggubrisnya. Bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun. Kecuali
menyatukan kedua tangan sambil melangkah lagi dengan cepat. Karena waktu di
tangan kirinya menunjukan bahwa bel masuk akan segera berbunyi.
Radar
itu ternyata tepat. Mel memang berada di dalam perpustakaan bersama Shandy,
teman Mel sebangku. Dengan terengah-engah, Ben langsung menyampaikan informasi
yang didapatkannya.
“Lomba menulis?” Dari responnya, nampak
sekali kalau Mel tidak menengok mading pagi ini.
Shandy
menempelkan telunjuknya ke bibir. Isyarat untuk Mel supaya mengecilkan volume
suaranya.
Mel
menarik Ben ke luar perpustakaan. “Kamu serius ada pengumuman itu di mading?”
Ben
mengangguk. Kemudian Ben melanjutkan
“Aku tau kamu punya bakat itu, Mel. Jadi aku kepengen kamu ikut acara
itu, Mel.”
***
Di
dalam kelas, Mel masih terngiang ucapan Ben. Padahal ini adalah mata pelajaran
Matematika - kesukaannya. Biasanya Mel akan mengabaikan apapun demi mata
pelajaran ini.
Kali
ini lain. Mel menggebu. Seuil kalimat ibunya dua tahun yang lalu kembali nongol
di kepala. "Ibu ingin melihat namamu di
atas karyamu ..."
Ucapan itu
terngiang jelas di kepala Mel. Maka saat mata pelajaran terakhir, Mel sudah
tidak sabar. Mel berniat akan menemui Ben sepulang sekolah nanti.
Berbunyilah
bel pulang. Mel langsung berjalan ngebut menuju kelas Ben.
“Ada yang
ingin kusampaikan,” ucap Mel saat
melihat batang hidung Ben menampakkan diri.
“Aku mau ikut lomba itu, asal kamu mau janji
sama aku ...” Mel menggantungkan kalimatnya.
“Janji
apaan?” Ben melompong. Sempat pula Ben
menyapa Ayra saat cewek Cina itu memapasi mereka. “Eh, hati-hati di jalan,
Ayra!”
“Pokoknya
aku mau ikut lomba itu kalau kamu juga ikut!” lanjut Mel.
***
Sebenarnya
Ben tidak berbakat menulis. Ben sengaja melakukan perjanjian ini demi modus
lain. Ben akan menembak Mel.
Semua
kata-kata yang bakal dipakai buat penembakan sudah Ben hapalkan. Sekarang Ben
tinggal mencari moment yang tepat.
Di bawah
pohon rindang Ben berdebar hebat. Keringatnya lebat. Sepotong kata. Dua potong.
Sekalimat utuh. DOOOR!!!
Mel
malu-malu merespon. “Aku mencintaimu,
tapi ....” Mel meminta sedikit waktu.
Dua minggu
kemudian pengumuman pemenang lomba menulis itu terbit di koran lokal. Judul
naskah milik Mel tercantum sebagai juara pertama di lapak itu.
Kegembiraan
yang tiada terkira bagi Mel. Ini semua karena Ben. Ben yang membaritahukan
informasi itu, mendukungnya, dan menemaninya pula mengikuti lomba. Ben serupa
pahlawan bagi Mel.
Sunggingan
senyuman lebar tak terhalang lagi. Mel ingin terbang. Mel berlari menuju kelas
Ben.
Tapi
tiba-tiba, Mel merasa pilu. Anak-anak di kelas Ben riuh menyorakan Ayra yang
kini resmi berpacaran dengan Ben. Mel patah hati.
Mel tidak
percaya Ben tega melakukan ini. Bahkan dua minggu yang lalu Ben dengan sok
seriusnya meneriakan kata cinta untuknya.
Mel menunduk
dalam-dalam. Menyembunyikan butiran air mata yang tumpah.
Mel tidak
tahu untuk apa air matanya itu. Untuk naskahnya yang lolos sebagai juara? Untuk
Ben yang tiba-tiba memutuskan buat pacaran dengan cewek lain? Atau untuk
mendiang ibunya yang menanti kemenangannya ini?
Ini
adalah kemerdekaannya dari segala egoisme Ben, tapi juga kesedihannya di
detik-detik penobatan gelar kemenangannya.
Jelang
Ramadhan, jelang Hari Kemerdekaan, juga jelang ulang tahunnya. Mel harus
kehilangan calon pacarnya dan terpaksa move on sebelum mencicipi rasa
manis-pahitnya pacaran.
***
"Sudah,
sudah! Kita lomba balap karung aja yuk," Shandy mencoba menghibur Mel
dengan mengajaknya lomba tujuhbelasan.
Mel yang
masih keki, mengangkat wajah dan segera menghapus air matanya. "Aku mau
panjat pinang aja. MERDEKA!"
Gue mau baca blog loe aja MERDEKA
BalasHapusendingnya itu bener2 melenceng dari perkiraan,
BalasHapussi ben kan sukanya mel? knp jadiannya sama Ayra?
tapi tetep seru kok ini cerita :)
selamat sore, berkunjung ke blognya sob.
BalasHapusgambaran 17 agustus ya
BalasHapusYes, merdeka walaupun cinta bertepuk sebelah tangan.. :D
BalasHapus